Di postingan kali ini, saya akan berbagi tentang pengalaman saya menjadi mahasiswa di SBM ITB. Sebelum menamatkan bacaanya, I wanna make sure that this is my opinion and my experience, and everyone might have different opinion, hehehe. Saya menjadi mahasiswa SBM ITB 2018. Artinya, saya masuk pada tahun 2015 yang diprediksikan akan lulus tahun 2018. Kalau kamu masuk tahun 2020, berarti nama angkatanmu SBM 2023.
Buat kamu khususnya yang mau lanjut kuliah S1 ke SBM ITB, baca sampai tamat ya! Karena informasi ini akan bermanfaat banget untuk kamu. Terlebih, akan ada banyak surprising things ketika kamu masuk ke SBM walaupun kamu sudah mendengar cerita-cerita orang.
Kita mulai dengan perkenalan kampus. SBM (Sekolah Bisnis dan Manajemen) merupakan salah satu program studi di Institut Teknologi Bandung yang mengemas pendidikan di bidang bisnis dan manajemen. Terdapat beberapa program, yaitu untuk program S1/Undergraduate Degree (Bachelor of Management & Bachelor of Entrepreneurship), S2/Master (Master of Business Administration & Master of Science Management), Doktor (Doctor of Science in Management), dan Non-Degree (Executive Program). Tapi kita akan fokus pada S1 Bachelor of Management yang berlokasi di Kampus Ganesha, karena di sanalah saya pernah berada. Untuk info mengenai program studi, kamu bisa langsung cek di www.sbm.itb.ac.id.
Fasilitas di SBM
Saat pertama kali kamu masuk ke Gedung SBM, kamu akan merasakan kekaguman pada Gedung kokoh dan indah itu (maaf lebay, tapi ya emang begitu kalau pas awal-awal). Di Kampus Ganesha, SBM ITB memiliki 2 gedung utama: Gedung lama dan Gedung baru (Freeport Indonesia Business Research Center). Those buildings are amazing! Very Smart and Clean! You will fall in love at the first sight.
Kita harus memiliki akses untuk masuk ke Gedung SBM, yaitu dengan menggunakan smartcard yang terintegrasi dengan ATM, KTM (Kartu Tanda Mahasiswa), dan E-money. Keren kan? (Kalau kamu ga punya kartu untuk akses masuk, bisa kok lapor ke security, asalkan dengan alasan yang jelas.)
Eits, itu baru pintu masuk.
Anyway, sebelum lanjut. Kita berimajinasi dulu aja ya. Picture is not provided a lot here. Biar kamu penasaran!
Gedung in ber-AC, full AC. Enak banget. Tapi somehow gak nyaman juga kalau terus-terusan di ruangan. You need to go out sometimes if you have some breaks. Lagipula, kalau sedang istirahat, lebih baik ke kantin, sih.
Next, fasilitas tiap ruangan. Setiap ruangan memiliki komputer dan proyektor, mungkin ini suatu yang standar saja. Tapi, kalau di gedung baru, setiap komponennya, bahkan satu buah kursinya saja (masih) bagus, karena baru. Water dispensers are also available. Well, it might be the standard facility for some buildings, but for me, it’s kinda cool.
Selain kelas, ada juga ruangan lain yang menurutku fasilitasnya sangat bagus. Perpustakaan yang cozy, comlabs yang nyaman, meeting room, dan yang paling keren menurutku adalah ruang Auditorium Menangkawi yang terletak di lantai 6 Gedung Freeport. Dan masih banyak lagi fasilitas-fasilitas lain yang baik dan memadai, yang terkadang membuat mahasiswa di fakultas lain “iri”.
Source image: https://aqsyst.com/ruang-sbm/
Metode Belajar
Fasilitas pembelajaran udah oke. The question is, apakah fasilitas yang memadai sepadan dengan metode belajar yang baik? Let’s see.
Di ITB, tahapan belajarnnya ada yang sedikit berbeda. Pada tahun pertama belajar, kita akan mendapatkan satu tahun penuh untuk belajar pengetahuan dasar yang tujuannya untuk menyamakan persepsi dan pengetahuan tentang mata kuliah tertentu. Mata kuliah tersebut adalah Matematika, Fisika, Kimia, PTI (Pengenalan Teknolgi Informasi), PRD (Perancangan Rekayasa Desain), dan Olahraga. Tapi tenang aja, di SBM ga ada MAFIKI (MAtematika/Kalkulus, FIsika, Kimia). Adanya Matematika Bisnis, yang sebetulnya itu Calculus for Business di semester pertama dan kedua, serta Statistics di semester kedua. Those modules are the worst for me karena background saya saat SMA yaitu social science, dan cenderung menghindari segala sesuatu yang berhubungan dengan hitungan. That was one of my toughest challenge at the first year. Buat yang suka sih jadi seneng-seneng aja belajarnya. Untuk lebih detailnya, nanti saya akan bahas di postingan selanjutnya tentang pengalaman saya setiap semesternya di SBM ITB.
Terdapat beberapa metode pembelajaran, yaitu kelas besar atau lecturing, kelas kecil atau tutorial class, dan praktek.
Untuk kelas besar atau lecturing biasanya diadakan di ruang auditorium yang bisa dihadiri sampai 200 orang. Yang mengisi lecturing di sini biasanya dosen utama mata kuliah tersebut. Tujuan dari kelas ini yaitu untuk menyampaikan materi pembelajaran dari segi teori. Mahasiswa tidak dilibatkan aktif, tapi tanya-jawab sangat dianjurkan. FYI, dosen di ITB itu pendidikannya harus S3 loh (walaupun masih ada yang S2, tapi keilmuannya tidak diragukan lagi). Tugas-tugas utama juga biasanya diberikan saat lecturing.
Mahasiswa SBM akan dikelompokkan menjadi beberapa kelas, seperti SMA dulu, namanya tutorial class. Saat angkatanku, terdapat 9 kelas: kelas tutorial 1A – 1H, dan kelas internasional. Pengelompokkan kelas ini juga yang menentukan pengelompokkan jadwal kelas di auditorium. Biasanya dibagi 2 sesi: sesi pertama untuk kelas 1A-1D, sesi kedua untuk sianya. Di kelas tutorial ini, kita didorong untuk bisa aktif di kelas, kita akan dibagi lagi menjadi beberapa kelompok dalam kelas, Namanya Discussion Group (DG). Kita tidak bisa memilih sendiri, kelompok sudah ditentukan oleh prodi. Lalu kita akan dibimbing oleh tutor kelas yang memang expert di bidangnya, tapi mereka bukan dosen utama, biasanya mahasiswa S2 di MBA atau MSM, atau bisa juga yang sudah lulus S2 tapi sedang studi S3.
Lalu ada praktik, nah untuk praktik di sini (bukan praktikum di lab ya!) merupakan metode belajar di mana kita bisa mempraktikan teori yang kita dapatkan saat lecturing dan hasil diskusi dan pembelajaran di kelas tutorial. Jadi kita bisa mendapatkan pengalaman belajar yang komprehensif alias menyeluruh. Praktik lapangan di sini jenisnya macam-macam sesuai kebutuhan pembelajaran. Mulai dari pembuatan suatu project, terjun langsung ke masyarakat, ekskursi, dsb. Terkadang, inilah yang paling saya tunggu, karena kita bisa explore kemampuan kita yang belum kita temukan di kelas.
Segitu dulu aja yaa tentang metode belajar, sisanya nanti kamu juga tau sendiri kalau udah masuk SBM :p
Kuliahnya Full English?
Beberapa dari kamu mungkin sudah pernah dengar kalau di SBM itu kuliahnya Full English. Tapi, beneran tuh?
Tidak perlu khawatir, karena sudah banyak yang khawatir soal ini (loh). Normal, jika kamu takut karena merasa tidak memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang baik. Untuk beberapa yang terbiasa, hal ini merupakan hal yang menarik, so it won’t matter for them. How about me? Saya termasuk yang setengah-setengah. Saya bisa, saya paham Bahasa Inggris, tapi… Bahasa Inggris pemula. Tidak sampai saya mengerti Bahasa Inggris yang rumit, kalau bahasa sehari-hari saya paham. Baca-tulis yang sederhana saya bisa.
Benar, kalau di SBM kuliahnya menggunakan Bahasa Inggris, tapi tidak langsung sepenuhnya. Penerapannya bertahap. Menurut pengalaman saya, saya bisa menyimpulkan tahapan penggunaan Bahasa Inggris pada Angkatan kuliah saya seperti ini:
Informasi pada tabel tersebut merupakan kesimpulan berdasarkan pengalaman saya. Mungkin saja teman-teman saya yang lain berpendapat berbeda. Sebenarnya, penggunaan Bahasa Inggris di SBM itu wajib, tapi karena tidak semua mahasiswa sudah menguasai, ada beberapa dosen masih menoleransikannya, walaupun dalam hampir setiap tugas harus menggunakan Bahasa Inggris.
Saran saya untuk kamu yang masih “deg-degan” karena belum mampu menguasai Bahasa Inggris, just push your limit! Jangan minder dan jangan nanggung belajarnya (ini saran berdasarkan pengalaman loh). Kamu akan bertemu dengan teman-teman kamu yang sudah jago Bahasa Inggris-nya, tapi kamu juga akan bertemu dengan teman-teman kamu yang masih belajar. Pasti terasa sekali perkembanganya kalau kamu mau belajar dan berusaha ekstra keras. Semangat!
Biaya Kuliah
Fasilitas bagus, dosen-dosen amazing, metode pembelajaran keren. Biaya kuliahnya? Hehehe, sebanding lah ya..
Dalam satu tahun, kita akan melewati 3 semester: semester pertama (Agustus-Desember), semester kedua (Januari-Mei), dan semester pendek (Mei-Juli). Semua itu berlangsung selama 3 tahun, artinya kita punya 9 semester. Ya, 9 semester, karena semester pendek itu wajib hukumnya. Cuti bisa sih, tapi ada prosedurnya sendri. Bagi saya lebih baik tepat waktu, karena tepat waktu juga sudah sangat cepat. Kita bisa lulus lebih cepat dari teman-teman kita di fakultas lain lho! Seneng kan. Ya sepadan sih. Cepat lulus, sedikit libur. “High risk, high return”. Begitu kata dosen finance saya.
Saat tahun ajaran saya, biaya kuliah per semesternya yaitu Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Bisa saja tahun ajaran ini berbeda. Mahal ya? Hehehe. Iya mahal banget. Tapi ada hal yang mau saya tekankan di sini: tidak ada yang gratis di dunia ini. Semua hal harus dibayar. Dan tidak semua harus dibayar oleh uang kita.
Let’s count. Dari awal masuk sampai beres, terdapat 9 semester. FYI, semester pendek pun biayanya sama, walaupun kurang lebih hanya 2 bulan kita belajar.
9 semester x Rp20.000.000,00 = Rp180.000.000
Ya begitulah hitungan matematisnya. Jadi kita menghabiskan biaya kuliah sekitar Rp180.000.000, belum termasuk biaya hidup, perintilan tugas, kos, dsb. Stop. Udah ah.
Tapi saya tidak mengeluarkan uang sepeser pun loh untuk biaya kuliah saya. Kok bisa? Bisa saja. Seperti yang sudah saya tulis di atas, tidak semua harus dibayar oleh uang kita. Artinya, masih ada cara lain untuk membayar. Saya mendapatkan beasiswa Bidikmisi dari pemerintah.
Beasiswa ini diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya kuliah dan memiliki kualitas akademik yang baik. Tapi kalau di ITB, pertimbangan terbesarnya yaitu dari kondisi ekonomi. Ada syarat dan ketentuannya, bisa dicek di website https://bidikmisi.belmawa.ristekdikti.go.id/. Jangan males cari info ya!
Untuk kalian yang berada di posisi “nanggung”, artinya dari segi ekonomi cukup, namun tidak mampu membayar uang kuliah sebanyak itu, sehingga tidak bisa mendapatkan beasiswa bidikmisi, don’t worry! Akan selalu ada cara bagi mereka yang mau berusaha. Beberapa teman saya ada juga yang berada di posisi tersebut, tapi bisa mendapatkan keringanan pembayaran UKT (Uang Kulaih Tunggal atau biaya kuliah per semester) dengan melakukan pengajuan ke Lembaga Kemahasiswaan (LK). Ada yang mendapatkan keringan sampai Rp5.000.000 per semester, tergantung kebijakan dari kampus dan pastinya disesuaikan dengan kondisi mahasiswa. Bisa juga mencari beasiswa lain yang bisa membantu meringankan biaya kuliah. Kuncinya satu: jangan males. Walaupun biasanya beasiswa swasta tidak memberikan pembiayaan full, tapi kenapa tidak? Coba aja dulu. Kita bisa mengurangi beban orang tua.
Lingkungan Sosial
Nah, inilah yang paling ditunggu-tunggu. Setelah baca tulisan di atas, dengan fasilitas yang “wah”, metode belajar yang dirancang sedemikian rupa, full English, biaya kuliah mahal, kebayang gak gimana lingkungan sosialnya? Kemungkinan terbesar adalah “anak SBM dipenuhi oleh mahasiswa yang kaya raya”.
Hmmm… itu benar. Make sense, kan? Karena biaya kuliah sebesar itu, kebayang dong orang tuanya bagaimana?
Tapi bukan ini yang akan saya sampaikan. Dunia tidak dikelompokkan oleh si Kaya atau si Miskin kok. (Sorry for being rude). Semua mahasiswa yang berkuliah seharusnya berniat untuk belajar, betul? Gimana sih gambarannya mahasiswa di SBM?
Dalam sudut pandang saya, kuliah di SBM itu lingkungannya “wah” sekali! Waaah ini bagus. Waaah si itu keren. Waaaah si ini pernah ke situ. Waaaah dosennya lulusan ini. Waaaah ini canggih banget. Waaah kok bisa pinter gitu sih. Waaah aja terus wkwkwk.
Somehow, beberapa dari kita pasti akan merasa tidak ada apa-apanya. Banyak yang lebih cerdas, yang lebih modis, lebih kaya, lebih pede, lebih supel, dan lebih baik. Tapi sekali lagi, bukan itu yang harus kita permasalahkan. Kita seharusnya bersyukur karena kita akan bertemu dengan orang-orang yang lebih baik dari kita, jadi kita bisa belajar banyak dari mereka.
Saat awal masuk, saya pun minder kok. Tapi saya mencoba terus bertahan dan adaptif. Wajar kalau nanti kamu menemukan kelompok-kelompok sosial yang terbentuk dengan sendirinya. That’s life. Kamu pun akan menemukan kelompok kamu sendiri. Dan itu bukan berarti suatu hal yang buruk. I suggest you to make friends which you are comfortable with and you think it can make you grow.
Maksudnya gimana?
Kamu harus mengenal diri kamu, belajarlah untuk itu. Dalam berteman, jangan kamu pilih teman karena status sosialnya. Carilah teman yang bisa membantu kamu berkembang, harus saling berkembang. Terlepas dari background kamu siapa. Karena suatu saat nanti, social status bukanlah modal yang sesungguhnya, tapi siapa yang paling bisa bertahan untuk belajar dan berkembang yang akan menjadi modal utama. Apapun kondisinya, kamu bisa ‘hajar’.
Tapi kan, tidak semudah itu? Ya, betul. But this is not a rhetorical statement. Saranku lagi, kamu harus ingat tujuan kamu kuliah di SBM itu untuk apa. Tulis di dinding, tulis di buku harian, tulis di tempat yang kamu sering membacanya. Kalau suatu saat kamu down karena “kerasnya” kuliah di SBM, kamu bisa mengingat tujuan kamu itu. It will work, inshaaAllah. 😊
Hmm, lumayan panjang juga tulisan kali ini. Padahal masih banyak hal yang mau saya sampaikan. But no worry. Saya akan ceritakan perjalanan kuliah saya di SBM di postingan, sekaligus gambaran beberapa mata kuliah yang paling menarik versi saya. Bismillah.. Semoga tulisan ini bisa membantu kamu. Semangat!
コメント